Oleh:
Jones Oroh
(Jurnalis VIVAMANADO.COM)
SECARA langsung stigma dan diskriminasi telah menjadi salah satu tembok penghalang upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Stigma sudah ada sejak lama dan sering dikonotasikan anggapan negatif atau cap buruk seseorang di mata orang lain, dan juga mengandung dampak tentang bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri.
Sedangkan diskriminasi adalah suatu bentuk perlakuan tidak adil dan dapat berwujud tindakan semena-mena pada orang lain. Jika dilihat dari definisinya maka bisa dikatakan stigma menelurkan diskriminasi atau dengan kata lain perlakuan tidak adil merupakan realisasi dari adanya cap buruk. Stigma terkait HIV-AIDS juga mengakibatkan diskriminasi yang menjurus pada pelanggaran terhadap hak fundamentil seseorang. Dan dalam bingkai HIV-AIDS terdapat 2 komunitas yang sering menjadi alamat ditujukannya stigma dan diskriminasi, yaitu ODHA dan OHIDHA.
Terhadap ODHA
ODHA adalah Orang Dengan HIV-AIDS, istilah ini melekat pada pribadi seseorang yang sudah terbukti mengidap HIV atau sudah berada pada tahap AIDS yang ditandai dengan gejala-gejala oportunistik. Untuk mengetahui status HIV-AIDS pada seseorang harus dipastikan melalui tes darah seperti tes Elisa dan Western Blot. ODHA adalah individu yang sering menjadi sasaran pertama dan utama dari stigma dan diskriminasi yang diciptakan oleh masyarakat awam. Tanpa belas kasihan, ODHA dicap/dipandang sebagai individu yang telah melakukan suatu pelanggaran besar sehingga mendapat kutukan lewat penderitaan HIV-AIDS. Secara otomatis pandangan ini akan diikuti dengan tindakan menjauhi atau mengentaskan ODHA dari lingkungan masyarakat. Keadilan dalam segala hal sepertinya tidak berhak lagi didapatkan ODHA dan ini tentunya membuat penderitaan ODHA makin bertambah, ibarat kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula.
OHIDHA adalah Orang yang Hidup Dengan orang HIV-AIDS. Istilah ini dipakai pada orang-orang yang hidupnya dekat dengan ODHA. Mereka adalah keluarga dan teman dekat dari seorang pengidap HIV-AIDS. Umumnya jika keluarga sudah mengetahui kalau salah satu anggota keluarganya terinfeksi HIV-AIDS, seluruh anggota ini (termasuk ODHA) sudah melewati suatu proses konseling. Dalam proses ini pihak keluarga sudah diberikan informasi, bimbangan dan arahan untuk hidup dengan ODHA. Tetapi kacamata masyarakat awam masih melihat dan menganggap bahwa keluarga seperti menyembunyikan aib di dalam rumahnya dan akhirnya masyarakat mulai menjauhi serta menganggap bahwa keluarga ini tidak pantas lagi berada di dalam lingkungan sosial mereka. Dengan adanya intimidasi terus-menerus, OHIDHA inipun turut tereliminir dari komunitas tersebut. Rasa solider tidak dapat lagi diberikan oleh masyarakat kepada ODHA dan OHIDHA. Keadaan ini sering dilatarbelakangi oleh adanya doktrin yang keliru tentang HIV-AIDS serta kepercayaan terhadap mitos-mitos terkait yang kurang mendidik.
Stigma dan diskriminasi terkait HIV-AIDS ini lebih menyakitkan dari penderitaan yang mereka alami, dan kompensasinya gejolak persoalan epidemi HIV-AIDS yang seharusnya dibicarakan terbuka di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu masalah bersama untuk ditemukan solusinya, akan tidak berjalan dan terkekang. Implikasi dari keadaan ini adalah orang akan menjadi takut membuka diri dan berbagi realita HIV-AIDS dengan pihak berkompeten dan masyarakat, karena cemas akan keselamatan, kesejahteraan serta privasi diri dan keluarganya.
Secara langsung stigma dan diskriminasi menjadi tembok penghalang terhadap upaya lanjut pihak yang berkompeten untuk memberikan layanan sosial, dukungan perawatan dan dalam upaya meminimalisir dampak dari HIV-AIDS. Selain itu, stigma dan diskriminasi berpengaruh juga pada kapasitas dan kesediaan masyarakat untuk merespons realita ini secara konstruktif dan kondusif guna menghadapi kerugian besar yang diakibatkan oleh epidemi ini. Lebih spesifik lagi cap buruk dan perlakuan tidak adil yang diterima ODHA/OHIDHA akan menimbulkan konsekuensi psikologis yang besar untuk dapat menerima dan memahami realita diri mereka sendiri.
Ironisnya, dikemudian hari, pada beberapa kasus mereka akan mengalami keadaan depresi, kurang percaya diri dan rasa putus asa. Kesalahan tidak lagi ditujukan pada orang yang mendiskreditkan mereka, tapi cenderung akan menghakimi diri sendiri.
Mungkin tanpa disadari cap buruk yang diikuti oleh perlakuan tidak adil telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi ODHA. Padahal asas untuk memberikan perlakuan yang adil, berpijak pada pemikiran dan tindakan untuk menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Secara global, pimpinan-pimpinan negara di dunia telah menyikapi persoalan stigma dan diskriminasi dalam hubungannya dengan HAM ini lewat suatu perjanjian. Inti perjanjian Internasional mengenai HAM adalah melarang diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat dibidang politik atau hal-hal lain, kewarganegaraan, asal sosial, kepemilikan barang, kelahiran dan status lainnya. Selanjutnya badan PBB untuk HAM (UNHCR) mengeluarkan suatu resolusi bahwa “status lain” yang disebutkan di atas bisa diartikan sebagai status kesehatan termasuk HIV-AIDS.
UNHCR menyatakan bahwa diskriminasi yang berdasarkan status HIV-AIDS (baik berupa dugaan maupun sudah terbukti) dilarang, karena melanggar standar HAM yang diakui. Perjanjian ini ditindak lanjuti dengan suatu Deklarasi Komitmen PBB tentang penanggulangan HIV-AIDS butir 58 yang berbunyi “Menjelang tahun 2003, negara-negara harus mengesahkan, mendukung atau menegakkan peraturan serta kebijakan lain untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan menentukan nikmatnya semua hak asasi manusia, serta kemerdekaan hakiki oleh orang yang hidup dengan HIV-AIDS dan juga orang beresiko tinggi, agar mereka bisa mendapatkan akses tentang pendidikan, warisan, pelayanan kesehatan, layanan masyarakat, pencegahan, informasi dan perlindungan hukum. Sementara di sisi lain tetap menghormati hak pribadi mereka dan mengembangkan strategi untuk melawan stigma dan pengucilan sosial yang terkait dengan epidemi HIV-AIDS.
Perhatian dalam bentuk resolusi dan deklarasi PBB di atas bukanlah tanpa alasan. sKomitmen tersebut lahir berdasarkan fakta dalam masyarakat di pelosok dunia ini yang masih memberikan perlakuan tidak sewajarnya kepada ODHA/OHIDHA. Bentuk-bentuk perlakuan yang melanggar HAM di antaranya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) pada ODHA, pengkarantinaan ODHA, pembedaan pemakaian fasilitas keluarga dan umum, perlakuan terhadap jenazah dengan cara yang tidak layak (seperti membungkus dengan plastik & menggali lubang kubur lebih dalam), pemberitaan di media massa tanpa seijin yang bersangkutan, yang mengarah pada pembocoran identitas, pembocoran hasil tes HIV (+) seseorang oleh tenaga kesehatan dengan menyertakan identitas lengkap, pemaksaan testing darah pada semua orang sebagai persyaratan kerja, eksploitasi ODHA untuk kepentingan pihak lain. Beserta pelakuan lain yang imbasnya merugikan ODHA/OHIDHA, baik secara materil maupun moril.
Terdapat beberapa alasan sehingga memungkinkan stigma dan diskriminasi terkait HIV-AIDS dapat terjadi, yaitu:
1. Masih kurangnya informasi HIV-AIDS yang diperoleh, terutama mengenai mekanisme penularan.
2. Ketakutan berlebihan terhadap HIV-AIDS sebagai penyakit yang mematikan. Sehingga masyarakat belum sepenuhnya percaya terhadap informasi yang diberikan.
3. Kuatnya kepercayaan terhadap berbagai mitos yang diperoleh dari lingkungan sosial.
Mencermati ke tiga alasan ini, maka tidak ada salahnya Penulis menguraikan kembali secara singkat fakta tentang HIV-AIDS. HIV-AIDS termasuk salah satu Infeksi Menular Seksual (IMS). HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menimbulkan kumpulan berbagai gejala peyakit yang diistilahkan dengan AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita, tetapi yang terbukti berperan dalam penularan adalah ; darah, cairan sperma dan cairan vagina. Adapun bentuk aktifitas yang bisa menularkan adalah :
1. Hubungan seks tanpa kondom dengan orang positif HIV (atau gonta-ganti pasangan).
2. Darah ; lewat jarum suntik, penggunaan jarum suntik, tato atau tindik yang jarumnya sudah terkontaminasi HIV.
3. Menerima transfusi darah yang mengandung HIV
4. Ibu positif HIV ke bayi yang dikandungnya.
Sedangkan aktifitas yang tidak dapat menularkan adalah kontak sosial sebagai seperti bekerja bersama ODHA, berjabat tangan, saling berpelukan, ciuman ringan tanpa luka, berbagi makanan atau menggunakan peralatan makan bersama, mengunakan fasilitas umum bersama (seperti toilet, telepon umum, dll), terpapar batuk atau bersin, gigitan nyamuk, dsb. Masih banyak kontak/hubungan sosial lainnya yang tidak bisa menjadi cara penularan HIV, karena karakteristik HIV yang cepat mati di luar tubuh.
Pada media kering virus ini lebih cepat mati dan hanya bertahan lama di luar tubuh bila darah yang mengandung HIV masih dalam keadaan basah. Intinya adalah jika tidak ada kontak langsung antara ketiga cairan tadi (darah, cairan sperma dan cairan vagina) maka proses penularan tidak akan terjadi. Masyarakat (awam) perlu mengetahui dan menyadari bahwa seorang pengidap HIV masih bisa melaksanakan aktifitas sehari-hari selayaknya orang lain (HIV-) sebelum ia berada pada tahap AIDS. Rentang waktu dari HIV (+) ke tahap AIDS berkisar antara 2-10 tahun tergantung stamina yang dimiliki oleh ODHA.
Rentang waktu ini bisa lebih panjang jika seorang pengidap melakukan terapi obat ARV (Anti Retro Viral) yang berfungsi untuk menahan perkembangan virus di dalam tubuhnya supaya sistem kekebalan tubuh tetap ada. Pada rentang waktu ini, seorang pengidap masih nampak sehat dan bisa melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya tanpa perlu mendapat perlakuan khusus dari siapapun. Tanpa adanya stigma dan diskriminasi, ODHA masih bisa diberdayakan terutama lewat talenta dan keterampilan yang mereka miliki.
ODHA masih tetap mempunyai hak dalam kehidupannya. Hak-hak tersebut antara lain adalah menikmati privasi hidupnya tanpa ada gangguan dari manapun juga, menikah atau berumah tangga, memperoleh pekerjaan sesuai keterampilannya, memperoleh kesempatan pendidikan, memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit, menggunakan fasilitas umum maupun fasilitas rumah tangga, proses penguburan/pemakaman yang layak, mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul, bergaul dan bersahabat, serta kegiatan lain yang biasa dilakukan oleh orang yang tidak terinfeksi HIV.
Indonesia juga ikut menandatangani Deklarasi Paris, Desember 1994, yang menunjukkan janji untuk mendukung anti-diskriminasi, HAM serta asas-asas etis untuk menjadi bagian dari upaya penanggulangan AIDS.
Pembebasan dari stigma dan diskriminasi adalah HAM, yang berasal dari hubungan antara individu dengan negara. Oleh karena itu negara berkewajiban secara hukum untuk menjalankan, menghormati, melindungi dan memenuhi semua unsur dalam HAM serta membuat rakyat sadar akan hak-hak mereka (termasuk ODHA) sepenuhnya. ODHA bisa saja menggugat pihak-pihak yang telah merugikannya secara moril dan materil karena mengeksploitasi keberadaan dan status penyakitnya. Ada kerangka kerja HAM yang menyediakan jalur-jalur bagi orang yang didiskriminasi untuk mendapatkan ganti rugi melalui mekanisme yang mengindahkan prosedur, institusi dan pantauan. Mekanisme ini meliputi pengadilan, komnas HAM, komisi hukum dan pengadilan administratif.
Diakui bahwa mentalitas masyarakat saat ini masih sukar memperlakukan ODHA dengan wajar layaknya orang yang tidak mengidap HIV. Ibarat suatu ‘kebudayaan’ pribadi non normatif, stigma dan diskriminasi terkait HIV-AIDS ini sangat sukar dihilangkan dari dalam diri masyarakat. Tetapi ‘Kebudayaan’ ini harus segera di ubah ke arah yang normatif, yaitu cara pandang yang solider terhadap ODHA/OHIDHA dengan dilandasi asas-asas kemanusiaan. Melepaskan belenggu stigma dan diskriminasi memerlukan gerakan kepedulian bersama dari berbagai pihak yang berkompeten, mulai dari teman dan keluarga, LSM, tenaga medis, tokoh agama, tokoh masyarakat, kalangan pendidik, instansi hukum, politikus serta pers. Usaha bisa dilakukan dengan metode pendekatan langsung pada kelompok-kelompok masyarakat seraya mensosialisasikan dan mentransfer semua pengetahuan yang tepat tentang info HIV-AIDS, baik itu epidemi, sifat penyebab dan mekanisme penularan. Tentunya semua upaya yang dilakukan tetap menghormati prinsip-prisnsip martabat dan hak fundamentil setiap orang.
Karena itu saatnya semua pihak mempersiapkan diri menyambut kehadiran banyak ODHA. Perilaku manusiawi berupa simpati dan empati sebagai wujud kesepahaman hidup berdampingan dan berinteraksi sosial secara harmonis harus dapat direalisasikan. Kepercayaan yang besar dan kokoh, seperti cahaya obor (bukan lagi lilin) ditempat berangin, sangat diperlukan ODHA dalam rangka pemulihan rapuhnya kepercayaan diri untuk menjalani kehidupan.
Mari bayangkan bagaimana perasaan kita jika anggapan atau cap buruk terkait masalah apapun dialamatkan kepada kita. Mari hayalkan bagaimana respons kita jika menerima tindakan semena-mena dari orang lain. Mari tanyakan pada hati kecil kita adakah seorang manusia di muka bumi ini yang gembira saat dirinya dianggap buruk dan diperlakukan semena-mena oleh orang lain? Dan renungkanlah kalimat bijak berikut “Semua yang tidak kita kehendaki terjadi pada diri kita, jangan lakukan itu pada orang lain”. Semoga catatan ini dapat bermanfaat untuk menekan, mencegah serta menghapuskan belenggu stigma dan diskriminasi terkait HIV-AIDS di manapun, kapanpun dan apapun bentuknya.#
Tidak ada komentar: